Rabu, 02 Juli 2008

Manusia langit

Oleh: Santy Martalia Mastuti
(MyBelovedDinda)


Aku berjalan ke arah barat. Menempuh perjalanan yang sudah semestinya. Dari sebagiannya aku merasa lelah. Pernah juga aku merasa ingin memutar haluan dari arah yang sudah tergariskan. Untunglah aku segera tersadar bahwa aku adalah seorang manusia langit.

Dari sebagian perjalananku, aku kehilangan komunikasi dari langit. Berada dalam kesendirian dan buta. Dalam kebutaanku, datang seorang manusia bumi. Tubuhnya memancarkan aura yang memikat. Penuh keindahan. Irene, begitu nama manusia yang kutemui. Wajahnya elok rupawan seperti gadis-gadis suci pembawa cinta dalam karya-karya Chateaubriand atau Shakespheare. Bersama Irene, aku merasa mampu menjadi Alfred de Musset yang berjaya dengan syair-syair romantisnya. Dengan memandang wajah Irene yang eksotis dalam merdu alunan Claire de Lune aku berhasil mengarang quatrain untuknya. Empat baris sajak dalam bait yang tiada henti mengagumi setiap inchi dari dirinya. Jendela hatiku terbuka. Terletak di ujung sana, menganga, hingga sinar Irene menerobos masuk ke dalamnya. Bercahaya di ruang-ruang hati. Dalam setiap jam yang berlalu, aku tidak lagi mendapat bisikan dari langit. Aku terlena.

Suatu hari Irene menyatakan cintanya. Betapa waktu seperti berhenti berputar. Sedetik kemudian wajahku tak lagi lebih dari satu mili dengannya. Kupuja dia dengan sepenuh hati. Detik ini aku merasa seperti tokoh yang sedang ditulis oleh Chateaubriand. Dengan demikian buku kisah romantisku akan segera terbit esok hari.

Kupandang Irene dengan sepenuh jiwa raga. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Menyaingi suara detik-detik jam yang terdengar keras di tengah sunyinya suasana. Saat ini aku ingin berbagi malam dengannya. Menikmati setiap hembusan angin yang bertiup tenang. Menjadi saksi kedekatan kami. Mata Irene melebar, senyumnya mengembang tidak sabaran.

Mendadak tubuhku menegang. Berkeringat. Sebuah bisikan yang begitu kukenal dulu menyentakku.

Hai manusia langit! Perhatikanlah makhluk di sekitarmu…..

Jantungku seperti berhenti berdetak. Refleks kupandang Ireneku. Kakiku mundur selangkah. Aku melihat sosok manusia bumi berdiri tegak di hadapanku. Manusia untuk bumi sebagai kampung halaman. Langkahku semakin surut ke belakang. Irene memandangku penuh selidik. Pelahan tubuhku melemas. Aku mendesah pelan. Kuciptakan jarak dengannya.

“Wahai Irene, suaramu sungguh indah, tapi yang aku cari adalah suara yang menimbulkan kepercayaan dan rasa tenang.”

Begitulah perkataanku mengakhiri kisahku dan Irene. Kutinggalkan Irene dalam deraian air mata indahnya. Kulangkahkan kaki membelakanginya. Tak ingin kupandang lagi gelisah hatinya.

Aku kini pergi. Meninggalkan warna-warna kelabu. Sedikit ringan, tetapi belum habis. Bayangan Irene dan kehidupan di langit bergantian memenuhi rongga-rongga pikir otakku. Setengah dari hatiku ada pada Irene. Setengah dari hidupku seperti berubah menjadi manusia bumi. Tergoda oleh hawa-hawa bumi. Aku mendengar genderang perang sudah ditabuh. Suara-suara dari bumi menarik-narik jiwaku. Mereka tidak berpedang tetapi mereka lebih berbahaya dari sebuah pedang. Jiwaku berontak. Marah! Aku hadapi tantangan mereka dengan gagah berani. Perang kali ini bagai sebuah perjamuan. Anggur-anggur dalam botol tertuang di mana-mana. Isinya menggoda mata. Gadis-gadis penari yang indah dan cantik meliuk-liukkan tubuhnya di tiap-tiap sudut ruang. Kembang api mulai dinyalakan. Suasana meriah telah tercipta. Aku berdiri tegap. Berusaha menguasai jiwa. Sesungguhnya kematian adalah kekalahan dalam hidup. Aku bangkit dan mengangkat pedang karena aku bukan seorang pecundang. Kuhancurkan seluruh isi perjamuan. Sebuah perjamuan… Dihadirkan untuk menciptakan sebuah basa-basi. Diiringi dengan jiwa manusia-manusia yang menyesatkan. Sungguh kekuatanku adalah anugerah. Dan doaku selalu menyunggingkan senyuman dari waktu yang telah menyudutkanku. Aku berlalu dalam doa-doa kebahagiaan. Kuingat, aku dan seorang manusia bumi pernah melewati jalan yang amat buruk.

Kini warna-warna romantis telah pergi. Layaknya senja berganti malam dan fajar berganti pagi. Sekilas aku mengingat Irene. Dukanya tertiup angin sampai ke telingaku. Doa-doaku menguap ke awan. Menjaganya dari jauh.

Aku adalah seorang manusia langit. Manusia bumi untuk langit sebagai kampung halaman. Intuisi-intuisi langit mengalir seperti sungai-sungai bagi orang-orang yang berpikir tentang kehidupan di langit. Manusia langit mempunyai dua sayap. Di sebelah kanannya iman dan di sebelah kirinya adalah nafsu. Manusia langit suka mendapat pelajaran dan sangat suka memberi pelajaran

Berawal dari kesadaran aku menemukan arah perjalananku. Menuju ‘ada’ yang kerap ditiadakan oleh manusia-manusia bumi yang tidak pernah berpikir tentang negeri langit. Aku kembali meneruskan perjalananku untuk mengajak manusia berpikir tentang negeri langit. Negeri yang diperintah oleh sebuah kebenaran ‘ada yang absolut’.

Perjalanan manusia-manusia langit terus berlalu dan berganti. Jika aku bertemu dengan sesama manusia langit, kami sering bertegur sapa. Di antara mereka ada yang membisikkan sebuah kata kepadaku,” inquietum est cor meum donec requiescat in te deo.” Gelisah hatiku sebelum beristirahat di pelukan Tuhan.

Tidak ada komentar: